Di suatu pagi, seperti biasa aku naik kendaraan umum menuju kantor dimana aku bekerja.
Tak kurang dari lima menit aku didalam angkot naiklah seorang ibu dengan anak perempuannya.
Si anak yang lebih dulu naik dan disusul oleh sang ibu.
Posisi duduk mereka yang di depanku memperbolehkan aku leluasa memperhatikan mereka.
Hal pertama yang aku ketahui bahwa sang ibu adalah seorang tunanetra. Hal yang tidak aku duga karena pada saat mengambil tempat duduk tadi gerakan sang ibu ini terlihat seperti layaknya orang awas.
Karena pagi itu aku tidak membawa bahan bacaan untuk menemani waktuku diangkot maka semakin asyik saja aku memperhatikan ibu dan anak ini.
Selama di dalam angkot sang ibu dan anaknya berbincang tentang menu keluarga hari ini. Mereka ngobrol dengan sangat cerianya.
Perhatianku mulai beralih ke penampilan mereka. Keterbatasan sang ibu memunculkan perasaan iba di hatiku. Ditambah lagi pakaian mereka yang terlihat seadanya dan sandal yang dikenakan sang ibu juga hampir putus.
Seketika muncul harap di hatiku : semoga sandal itu tidak segera putus dan dapat mengalasi kaki ibu itu lebih lama lagi.
Sekitar 3 menit berselang penumpang yang duduk di sebelah kanan sang ibu turun. Kembali aku mendapat surprise melihat kesigapan sang ibu tuna netra ini berpindah tempat duduk ke tempat orang yang baru turun tadi dan mengambil posisi duduk dibelakang supir sambil bahunya bersandar ke jog pak Supir.
Sebagai orang awas aku mulai meyakini bahwa dibalik keterbatasan panca indranya ia memiliki indra yang lain sehingga ia bisa bergerak seperti seolah melihat tanpa harus meraba-raba.
Aku coba memejamkan mata : 'Gelap. Tak terlihat apa-apa '
Mungkin seperti itulah keadaan seorang tunanetra.
Aku mulai membayangkan jika Sang Maha Pencipta mengambil penglihatanku. Aku tak bisa lagi memandang orang2 yang aku cintai, aku harus terbiasa dengan dunia baruku yang gelap.
Ohh.. tidak. Jangan ambil anugerah yang sangat berharga ini ya Allah.
"Kiri, ..Kiri,.." kata anak sang ibu. Membuat aku tersadar dari lamunan. Maka turunlah si anak dan disusul sang ibu.
Setelah sang ibu dan anaknya turun, angkot berjalan perlahan dan makin cepat.
Aku tak kuasa melarang leherku berputar ke arah belakang dan mengawasi si ibu dan anaknya , 'Alhamdulillah baik- baik saja.'
Aku hanya mampu memanjatkan doa semoga ibu tadi senantiasa dilindungi oleh Sang Empunya Hidup dan pagi itu aku mendapat hikmah Syukur nikmat yang luar biasa.
Semoga kita menjadi manusia yang senantiasa bersyukur pada sang Khaliq yang telah menjadikan fisik dan pancaindra yang sehat.
Pertemuan ku dengan ibu tuna netra dan anaknya membuat aku lebih bersemangat dan ceria menjalani hari demi hari dalam kehidupanku. Pekerjaan yang menumpuk menjadi energi yang luar biasa.
Tugas yang susul menyusul di kantorku menjadi Vitamin yang membuat staminaku terus terjaga.Tak kurang dari lima menit aku didalam angkot naiklah seorang ibu dengan anak perempuannya.
Si anak yang lebih dulu naik dan disusul oleh sang ibu.
Posisi duduk mereka yang di depanku memperbolehkan aku leluasa memperhatikan mereka.
Hal pertama yang aku ketahui bahwa sang ibu adalah seorang tunanetra. Hal yang tidak aku duga karena pada saat mengambil tempat duduk tadi gerakan sang ibu ini terlihat seperti layaknya orang awas.
Karena pagi itu aku tidak membawa bahan bacaan untuk menemani waktuku diangkot maka semakin asyik saja aku memperhatikan ibu dan anak ini.
Selama di dalam angkot sang ibu dan anaknya berbincang tentang menu keluarga hari ini. Mereka ngobrol dengan sangat cerianya.
Perhatianku mulai beralih ke penampilan mereka. Keterbatasan sang ibu memunculkan perasaan iba di hatiku. Ditambah lagi pakaian mereka yang terlihat seadanya dan sandal yang dikenakan sang ibu juga hampir putus.
Seketika muncul harap di hatiku : semoga sandal itu tidak segera putus dan dapat mengalasi kaki ibu itu lebih lama lagi.
Sekitar 3 menit berselang penumpang yang duduk di sebelah kanan sang ibu turun. Kembali aku mendapat surprise melihat kesigapan sang ibu tuna netra ini berpindah tempat duduk ke tempat orang yang baru turun tadi dan mengambil posisi duduk dibelakang supir sambil bahunya bersandar ke jog pak Supir.
Sebagai orang awas aku mulai meyakini bahwa dibalik keterbatasan panca indranya ia memiliki indra yang lain sehingga ia bisa bergerak seperti seolah melihat tanpa harus meraba-raba.
Aku coba memejamkan mata : 'Gelap. Tak terlihat apa-apa '
Mungkin seperti itulah keadaan seorang tunanetra.
Aku mulai membayangkan jika Sang Maha Pencipta mengambil penglihatanku. Aku tak bisa lagi memandang orang2 yang aku cintai, aku harus terbiasa dengan dunia baruku yang gelap.
Ohh.. tidak. Jangan ambil anugerah yang sangat berharga ini ya Allah.
"Kiri, ..Kiri,.." kata anak sang ibu. Membuat aku tersadar dari lamunan. Maka turunlah si anak dan disusul sang ibu.
Setelah sang ibu dan anaknya turun, angkot berjalan perlahan dan makin cepat.
Aku tak kuasa melarang leherku berputar ke arah belakang dan mengawasi si ibu dan anaknya , 'Alhamdulillah baik- baik saja.'
Aku hanya mampu memanjatkan doa semoga ibu tadi senantiasa dilindungi oleh Sang Empunya Hidup dan pagi itu aku mendapat hikmah Syukur nikmat yang luar biasa.
Semoga kita menjadi manusia yang senantiasa bersyukur pada sang Khaliq yang telah menjadikan fisik dan pancaindra yang sehat.
Pertemuan ku dengan ibu tuna netra dan anaknya membuat aku lebih bersemangat dan ceria menjalani hari demi hari dalam kehidupanku. Pekerjaan yang menumpuk menjadi energi yang luar biasa.
Griya, 23 Mei 2009.
No comments:
Post a Comment